Kenalan sama Si Narsistik

Menurut Harjanta (2007) narsistik berasal dari kata narsisstic, digambarkan untuk menggambarkan orang yang mencintai dirinya sendiri secara melampaui batas, yaitu sudah mengganggu orang lain ataupun diri sendiri maka dianggap penyimpangan atau gangguan kepribadian. Dalam Kamus Lengkap Psikologi (Chaplin, 2001) narsisme merupakan cinta diri, perhatian yang sangat berlebihan kepada diri sendiri, satu tingkat awal dalam perkembangan manusiawi, dicirikan secara khas dengan perhatian yang sangat ekstrim kepada diri sendiri, dan kurang atau tidak adanya perhatian pada orang lain dan bisa terus menerus serta dapat berlanjut sampai memasuki masa kedewasaan sebagai satu bentuk fiksasi. Fausiah dan Widury (2005) menggolongkan kepribadian narsisitik sebagai gangguan kepribadian kelompok B, yakni gangguan kepribadian yang memiliki perasaan kuat bahwa individu tersebut merupakan seseorang yang penting dan merasa bahwa dirinya unik, spesial, ambisius dan suka mencari ketenaran sehingga sulit menerima kritik dari orang lain.
Duran dan Barlow (2007) juga sependapat dengan beberapa teori diatas, mereka mengatakan bahwa kecenderungan berperilaku narsis muncul dari kegagalan meniru empati dari orang tua pada masa perkembangan awal anak, atau individu dengan kecenderungan ini memanfaatkan individu lain untuk kepentingan diri sendiri dan hanya menunjukkan sedikit empati kepada individu lain. Maria, dkk (2001) juga menyebutkan bahwa beberapa karakteristik kepribadian narsisitik diantaranya rasa sensitif terhadap kritik atau kegagalan, kebutuhan yang besar untuk dikagumi dan kurangnya empati.  Lanjut dari itu, Grandiosity atau melebih-lebihkan bakat dan rasa superioritas yang tidak realistis menjadi patokan pembeda antara gangguan kepribadian narsistik dengan gangguan kepribadian lainnya (Ronningstam & Gunderson, 1991).
Kepribadian ini sangat banyak melanda usia remaja, dimana dalam usia remaja banyak konflik baik internal dalam diri maupun dengan lingkungan. Selain itu, usia remaja yang merupakan masa krisis identitas yang menjadikan remaja melakukan hal-hal yang dapat menemukan identitasnya sehingga tidak heran jika banyak remaja bertingkah untuk mendapat perhatian, tujuannya agar dapat diterima dalam kelompok pergaulan tertentu (Sarwono, 2001). Tingkah remaja dalam mendapakan perhatian bermacam-macam, ada yang dengan eksis di sosial media, menunjang penampilan, bahkan terjerumus dalam pola pergaulan yang salah apabila remaja kurang mendapat kendali dan pengawasan.
Saputro (dalam Jurnal Psikologi, 2012) menjelaskan studi yang telah dilakukannya pada 50 mahasiswa UNNES terkait ‘Tingkat Kecenderungan Narsisitik Pengguna Facebook’ menunjukkan hasil bahwa indikasi memiliki mental narsis bagi pengguna facebook jika jumlah jejaring pertemanan yang besar didalamnya, jika tidak mempunyai jejaring pertemanan yang besar kecenderungan narsisnya tergolong sedang.
Selanjutnya yaitu usaha menunjang penampilan, hal tersebut menjadi lumrah dilakukan remaja karena menurut Hurlock (2002) penampilan bagi remaja sangat penting yaitu sebagai daya tarik fisik, usaha mencari dukungan sosial dan popularitas . Dengan begitu remaja mempunyai kebiasaan dan gaya hidup konsumtif (suka berbelanja) dan cenderung hedonis karena, Tinarbuko (2006) mengatakan bahwa remaja pada umumnya belum dapat menentukan prioritas kebutuhannya sendiri sehingga dalam membuat keputusan membeli lebih mengandalkan emosi daripada rasio. Neufeldt (dalam Zebua dan Nur Djayadi, 2001) mengungkapkan bahwa perilaku konsumtif digambarkan sebagai tindakan yang tidak rasional dan bersifat kompulsif, secara ekonomis menimbulkan pemborosan, serta secara posikologis mengakibatkan kecemasan dan rasa tidak aman. Meskipun ada banyak faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen menurut Engel dkk (1994) seperti kebudayaan, kelompok sosial, kelompok refrensi, keluarga, dan status sosial namun juga ada faktor internal diantaranya motivasi, proses belajar dan pengalaman, kepribadian dan konsep diri, keadaan ekonomi dan gaya hidup serta menurut Lina dan Rosyid (1997) ada juga faktor kepribadian dan kemungkinan besar yang mempengaruhi perilaku konsumtif adalah kepribadian narsisitik.
Yusi dan Rani (dalam jurnal Psikologi Universitas Mercubuana, 2011) menjelaskan korelasi perilaku konsumtif dengan kepribadian narsisitik dalam penelitiannya yang dilakukan dengan mengambil subjek 60 remaja kelas 1 dan 2 SMU Negeri 3 Yogyakarta dengan rentang usia 13-17 tahun memberikan kesimpulan bahwa kepribadian narsistik berhubungan secara signifikan dengan perilaku konsumtif. Artinya semakin tinggi kepribadian narsistik semakin tinggi pula perilaku konsumtifyang terjadi pada remaja, dan sebaliknya. Hubungan yang signifikan pada kedua variabel tersebut ditunjukkan dengan analisis korelasi produk moment diperoleh rxy= 0,523 dengan taraf signifikan 0,000 (p< 0,01).
Selain berpengaruh pada perilaku konsumtif, kepribadian narsistik juga berpengaruh pada kecenderungan perilaku menyimpang aneroxia nervos. Dimana perilaku ini berkaitan erat dengan kekhawatiran remaja dengan perubahan bentuk tubuhnya. Sejalan dengan perubahan dan perkembangan fisiknya, banyak remaja yang menghayati perubahannya sebagai hal yang merisaukan (Dariyo, 2002). Pada umumnya, para remaja mengalami kesulitan untuk menerima perubahan pada bentuk fisiknya. Menurut Dariyo (2002), remaja belajar dari lingkungannya yang menyatakan bahwa menjadi gemuk adalah buruk dan yang bertubuh ramping dianggap menarik. Studi yang telah dilakukan Sowanya (2014) terhadap 70 model perempuan dengan rentang usia 18-25 tahun yang bertempat tinggal di Yogyakarta, model-model tersebut merupakan beberapa model yang masih terikat kontrak dengan agency yang tercatat sebagai anggota Lembaga pendidikan keterampilan (LPK) Buva Model Agency, LK Samurai Pro, LPK Danar Studio Modelling, dan juga ada  beberapa model yang tidak terikat kontrak, menunjukkan hasil yang signifikan yaitu adanya hubungan positif antara kecenderungan kepribadian narsisitik dengan kecenderungan aneroxia nervosa pada perempuan sebesar 14,4% dari koefisien determinan kedua variabel.
Kecenderungan narsistik merupakan kesalahan pola asuh lalu berkembang sampai masa dewasa dan di masa perkembangan remaja menjadi titik puncak perkembangan kepribadian ini dimana remaja mengalami krisisi identitas. Sehingga tratment yang dapat diberikan adalah pengobatan klasik yaitu psikodinamik dan psikoanalitik (Ader, 1986) dan merupakan pengobatan terbaik (Turner, 1994). Tujuannya supaya individu dengan gangguan kepribadian narsisk mengidolakan terapis karena di masa kecil mereka tidak sempat mengidolakan orangtuanya, sehingga dari itu mereka tau hubungan anak-orang tua seperti apa yang menyebabkan gangguan kepribadian narsis mereka. Intervensi lebih lanjut dapat juga oleh Keluarga dan Pasangan (Harman & Waldo, 2004) serta perawatan dengan CBT (Oldham & Morris, 1995).
Namun yang menjadi masalah adalah ketika orang awam yang hidup ditengah-tengah individu yang menunjukkan ciri-ciri gangguan kepribadian narsisitik tidak mau menyarankan bantuan atau sering menunda mencari bantuan karena minimnya pengetahuan terkait gangguan narsisitik oleh mereka (orang awam) dan juga mereka tidak mau memberi label ‘terkena gangguan’ dan hanya menganggap individu tersebut terkena masalah. (Za/RnD CPC)




 Artikel ditulis berdasarkan riview dari beberapa jurnal yaitu:
Saputro Kristanto. (Tingkat Kecenderungan Narsisstik Pengguna Facebook), Jurnal Psikologi, Vol. 1,  No. 1,  2012, ISSN 2252-6838
Yusi Ambarwati dan Ranni Merli Safitri. (Hubungan Antara Kepribadian Narsisstik dengan Perilaku Konsumtif pada Remaja di Yogyakarta). Jurnal Psikologi Universitas Mercubuana Yogyakarta, Vol. 2, No. 2, 2011,  ISSN 2087-1899
Sowanya Ardi Prahara. (Peran Kecenderungan Kecenderungan Kepribadian Narsistik Terhadap Kcenderungan Anorexia Nervosa pada Model Perempuan). Jurnal Sosio-Humaniora, Vol. 5, No. 1, 2014, ISSN  2087-1899
Kristie Wright dan Adrian Furnham. (What Is Narcissistic Personality Disorder? Lay Theories of Narcissism). Jurnal Psychology, 5, 2014, http://dx.doi.org/10.4236/psych.2014.59124



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa itu HEMATOPHOBIA ?