Apa itu HEMATOPHOBIA ?
![]() |
Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna karena dibekali akal
sekaligus nafsu, dengan begitu jenis makhluk ini merupakan spesies unik karena
mempunyai individual differencess (perbedaan individu yang menjadikan
individu tersebut menjadi berbeda dengan yang lain). Bermacam-macam emosi yang
ada pada manusia menjadikan mereka beradaptasi dan dapat melangsungkan
kehidupan, dengan emosi individu dapat mengekspresikan apa yang dipikirkan, apa
yang dirasakan dan menjadikan hidup lebih berwarna. Banyak emosi yang melingkupi
manusia diantaranya cinta, cemburu, marah, iri, baper, kecewa, takut dan masih
banyak lagi. Emosi cinta dimiliki sebagai wujud peduli dan sayangnya individu
dengan yang lain, marah digunakan untuk mengekspresikan perasaan kecewa yang
mendalam, sedangkan takut diwujudkan sebagai alarm utama ketika menghadapi situasi yang berbahaya atau
hal-hal yang berpotensi menimbulkan kerugian. Namun perasaan takut ini tidak
selamanya berkonotasi buruk, adanya rasa takut dapat mendorong individu untuk
menghindar dari situasi yang mengancam, dan juga dengan takut yang wajar
seseorang dapat mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik. Misal, siswa yang tekun
belajar sebenarnya respon atas rasa takutnya tidak naik kelas. Namun ada juga
takut yang tidak sesuai porsinya, maksudnya situasi yang menyebabkan takut
sudah selesai namun individu masih merasakan takut, atau kecemasan yang
berlebihan pada objek atau kondisi yang banyak orang dianggap wajar, seperti
berkeringat dingin dan lunglai atau malah pingsan saking takutnya ketika melihat
balon, rambutan, kucing, dan hal wajar lainnya. Ketakutan yang terakhir disebut
dengan fobia.
Apa itu Fobia?
Nevid, dkk, (2005) menyebutkan fobia berasal dari bahasa Yunani phobos
yang berarti ‘takut’; adalah perasaan cemas dan agitasi sebagai respon terhadap
suatu ancaman. Gangguan fobia adalah takut yang persisten terhadap objek atau
situasi dan rasa takut tersebut tidak sebanding dengan ancamannya. Orang dengan
gangguan fobia merasa takut dengan hal-hal yang menurut banyak orang tidak
layak untuk ditakutkan.
Apa itu Hematophobia?
Hematophobia merupakan istilah fobia spesifik pada darah yang
terjadi pada seseorang. Individu yang mengalami hematophobia akan bereaksi
keringat dingin, lemah, jantung berdegup kencang, lunglai dan bahkan pingsan
serta selalu menghindari situasi yang mengarahkannya pada interaksi dengan
darah. Faktor yang berkontribusi pada fobia spesifik diantaranya:
perspektif psikodinamik, perpektif belajar, faktor kognitif berupa prediksi
berlebihan terhadap rasa takut, keyakinan yang irrasional/self defeating,
sensitivitas berlebihan terhadap ancaman, sensitivitas kecemasan, salah
mengatribusikan sinyal-sinyal tubuh, self efficacy yang rendah, dan
faktor biologis; faktor genetis, neurotransmitter, aspek biokimia pada gangguan
panik dan aspek-aspek biologis dari gangguan obsesif-kompulsif, serta faktor
yang menggabungkan berbagai pandangan. Fausiah dan Widury (2005) menyebutkan beberapa faktor penyebab fobia
spesifik, yaitu: pengalaman traumatis masa lalu, pola pembelajaran yang keliru,
faktor genetik dan faktor kognitif. Faktor kognitif memfokuskan pada bagaimana
proses berpikir seseorang dapat menjadi penyebab serta bagaimana pikiran
tersebut dapat mempertahankan reaksi fobia (dalam Mutohar, 2017).
Bagaimana
Mengetahui Individu Tersebut Mengalami Hematophobia?
Untuk mengetahuinya tentu saja melakukan diagnosa. Pedoman diagnosa
untuk gangguan fobia spesifik berpedoman pada DSM V. Fobia spesifik digolongkan
dalam kluster gangguan kecemasan fobia khas (terisolasi). Pedoman diagnostik
dalam gangguan ini adalah:
(a) gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus
merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan sekunder dari
gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau pikiran obsesif;
(b) anxietas harus terbatas pada adanya objek atau situasi
fobik tertentu (highly specific situations);
(c) situasi fobik tersebut sedapat mungkin dihindarinya. Semua
kriteria tersebut harus dipenuhi untuk diagnosis pasti. Pada fobia khas ini
umumnya tidak ada gejala psikiatrik lain, tidak seperti halnya
agorafobia dan fobia sosial. Jadi, jika ada individu yang berperilaku
menghindar dari darah dan situasi yang memungkinkannya berinteraksi dengan
darah, jantung berdegup kencang, lunglai, bahkan pingsan ketika berinteraksi
dengan darah maka individu tersebut sudah dapat didiagnosa hematophobia.
Lalu, Apakah Bisa Sembuh?
Firosad,
dkk (2016) dalam penelitiannya yang berjudul “Teknik Desensitisasi Sistematik
Untuk Mengurangi Fobia Mahasiswa” menjelaskan bahwa konseling behavioral
memandang fobia diperoleh seseorang melalui peristiwa tidak menyenangkan yang
pernah dialami. Oleh karena itu, untuk mengurangi atau menurunkan fobia harus
melalui usaha yang dikondisikan pula sehingga fobia itu berakhir yaitu dengan
menggunakan teknik desensitisasi sitematik.
Desensitisasi Sistematik menurut Pihasniwati (2015) yaitu salah
satu teknik yang paling luas digunakan dalam terapi behavioris yang digunakan
untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dan ia menyertakan
pemunculan tingkah laku atau respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang
hendak dihapuskan.
Ada beberapa teknik dalam terapi DS yang dijelaskan oleh Nevid, dkk
(2005), yaitu:
(1) Pemaparan Gradual: merupakan metode dari DS untuk mengatasi
fobia melalui pendekatan setapak demi setapak (stepwise) dari pemaparan
aktual terhadap stimulus fobik. Teknik ini dalam DS sudah sangat terbukti
efektivitasnya sehingga menjadi terapi pilihan untuk menangani fobia spesifik
(Barlow, Esler, & Vitali, 1998; G.T. Wilson, 1997). Azmarina (2015) mengungkapkan bahwa desensitisasi sistematik suatu
teknik terapi perilaku untuk menghilangkan respon cemas ini didasarkan pada
prinsip counterconditioning dan reciprocal inhibition (hambatan
timbal balik) yang menyatakan bahwa jika suatu penghambat respon cemas dapat
diciptakan pada saat hadirnya stimulus yang menimbulkan cemas, maka penghambat
ini akan memperlemah ikatan antara stimulus dengan kecemasan.
(2) Flooding: Suatu bentuk
terapi pemaparan di mana subjek dihadapkan pada stimuli pembangkit takut dengan
tingkatan yang tinggi baik melalui imajinasi maupun aktual. Asumsinya adalah
subjek percaya bahwa kecemasannya merupakan representasi dari respons
terkondisi dari suatu stimulus fobik dan akan punah bila individu tinggal di
dalam situasi fobik dalam waktu yang lama dan tidak terjadi konsekuensi yang
merugikan.
(3) Terapi Kognitif: Teknik dari Beck ini bertujuan untuk
mengidentifikasi dan megoreksi keyakinan yang disfungsional atau terdistorsi.
Salah satu contoh teknik kognitif adalah restrukturisasi kognitif; suatu metode
terapi kognitif yang mencakup penggantian pikiran-pikiran irrasional dengan
alternatif lain yang rasional. Terapis membantu klien menemukan peikiran self-defeating
dan mencari alternatif rasional sehingga mereka bisa belajar menghadapi situasi
pembangkit kecemasan.
(4) Terapi Virtual: Realitas
virtual merupakan lingkungan simulatif yang dikembangkan dengan sistem computerized
dengan cara memakai helm dan sarung tangan khusus yang dihubungkan dengan komputer.
(5) Terapi Kognitif-Behavioral: Merupakan Cognitive Behavioral
Therapy yang memadukan teknik-teknik behavioral seperti pemaparan, dan
teknik-teknik kognitif.
Komentar
Posting Komentar